HARIAN SEDERHANA, DEPOK — Bangunan sisa peninggalan Belanda lainnya adalah Jembatan Panus. Sayangnya, jembatan tua ini kini tampak tidak terawat, bahkan keberadaannya sudah bukan untuk umum lagi. Tapi, untuk lalu lintas menuju sebuah perumahan real estate.
Jembatan tersebut tadinya merupakan jembatan yang ramai dilalui kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Tapi, sejak dibangunnya jembatan baru yang lebih lebar di dekatnya, maka jembatan tersebut seakan menjadi “jembatan khusus” untuk ke komplek perumahan yang berada di dekat jembatan itu.
Orang Depok mengenal jembatan yang melintasi Sungai Ciliwung ini dengan nama Jembatan Panus. Panus merupakan nama panggilan untuk Stephanus Leander, yang membangun jembatan tersebut pada 1917-1918. Namun menurut pengakuan Bernard Leander (keturunan Stephanus Leander) bahwa jembatan tersebut dibuat oleh Andre Laurens (dari marga Laurens) bukan Stephanus Leander. Waktu itu, Opa Panus (demikian orang Depok memanggilnya), membuat pancuran yang airnya berasal dari mata air yang terdapat di tebing Sungai Ciliwung. Air pancuran itu digunakan penduduk sekitar, untuk mandi, cuci, dan air minum. Sampai sekarang, mata air itu masih tetap mengeluarkan air.
Jembatan Panus kemudian menjadi jembatan penting yang menghubungkan Depok dengan Buitenzorg (Bogor) maupun Batavia (Jakarta). Jalan yang melintasi jembatan tersebut makin lama makin ramai. Kendaraan bermotor semakin bertambah banyak, belum lagi para pejalan kaki. Akibatnya sering terjadi kemacetan di jembatan tersebut, jembatan panus berukuran lebar 5 m dan panjang 100 m sehingga akhirnya dibangunlah sebuah jembatan baru, yang lebih lebar di dekat jembatan tua ini.